Degradasi Budaya
Indonesia adalah salah satu negara yang memiliki banyak sekali kekayaan di dalamnya. Salah satunya adalah kekayaan akan kebudayaan dan juga kesenian di setiap daerahnya. Di setiap daerah Indonesia selalu memiliki kebudayaan yang begitu khas yang bisa melambangkan atau menggambarkan daerah tersebut.
Budaya merupakan pengetahuan, kepercayaan, seni, moral, hukum, benda, adat istiadat, dan kemampuan serta kebiasaan lain yang dipelajari dan dibagikan dalam masyarakat secara turun-temurun atau generasi ke generasi. Budaya merupakan bentuk identitas, cara untuk mengekspresikan diri, cara untuk berkomunikasi dan membentuk interaksi sosial pada manusia. Kebudayaan tidak hanya berbentuk fisik seperti bangunan dan artefak, tetapi juga aspek non-material seperti tradisi lisan, ritual, dan norma sosial.
Di era globalisasi, budaya memainkan peran penting dalam mempertahankan keunikan suatu kelompok di tengah arus perubahan dan pengaruh luar serta teknologi. Globalisasi memberikan peluang bagi budaya lokal untuk dikenal secara luas dan mendapat apresiasi di tingkat internasional. Misalnya, seni, musik, kuliner, dan tradisi dari berbagai daerah kini lebih mudah diakses dan dinikmati oleh orang-orang di seluruh dunia. Hal ini dapat memperkaya pengalaman dan pengetahuan masyarakat, memperluas wawasan, dan menciptakan campuran budaya yang unik. Namun globalisasi juga dapat membawa tantangan
Globalisasi sering kali menyebabkan degradasi budaya. Generasi muda yang lebih terpapar pada budaya global mungkin lebih memilih budaya luar daripada tradisi dan nilai-nilai lokal mereka sendiri. Hal ini dapat mengakibatkan hilangnya bahasa, adat istiadat, dan tradisi yang diwariskan secara turun-temurun. Budaya juga sering dimodifikasi untuk kebutuhan tertentu sehingga dapat mengurangi makna asli dan dapat mengubah persepsi di masyarakat lokal sendiri.
Tari Dolalak/Ndolalak
Dolalak merupakan kesenian khas kabupaten Purworejo. Tarian ini muncul karena pengaruh Belanda yang diprakarsai oleh tiga orang pemuda dari Sejiwan, Kecamatan Loano, Kabupaten Purworejo, yaitu, Rejotaruno, Duliyat, dan Ronodimejo yang didukung oleh masyarakat sekitarnya. Penamaan Dolalak berasal dari not “Do” dan “La”, karena tarian ini diiringi dengan musik dua nada tersebut. Musik yang mengiringi kesenian Dolalak merupakan musik yang sederhana yang merupakan lantunan syair-syair dan pantun-pantun Jawa. Adapun alat musik yang digunakan untuk mengiringi tari dolalak antara lain yaitu, Jidhur, terbang, kendang, dan nyanyian atau syair dari vokal. Musik utama dalam kesenian Dolalak adalah syair dan Jidur dimana keduanya sangat mengikat erat dengan gerak tari yang ditarikan.
Pada awalnya Dolalak dimainkan oleh laki-laki dengan mengenakan seragam warna hitam dan bercelana pendek. Seragam ini tentu saja meniru seragam tentara Belanda pada zaman dulu. Adapun rangkaian busana tersebut antara lain kemeja lengan panjang hitam dipadu dengan celana pendek berwarna hitam, dilengkapi atribut mirip tentara Belanda, topipet, sampur, kaos kaki panjang, dan kacamata. Seiring berkembangnya zaman, muncullah penari putri, dan bahkan sekarang sudah sangat jarang ditemui penari pria. Selain itu, sekarang ini banyak pula yang menambahkan alat keyboard atau organ tunggal di dalam pentas dan bahkan music dari keyboard atau organ tunggal lebih dominan. Ini tentu mengurangi esensi dari tari Dolalak.
Wayang Kulit
Siapa yang di sini tidak mengenal wayang kulit. Walaupun bukan berasal dari Purworejo, namun dulunya wayang kulit sering dipentaskan di Purworejo. Bahkan ayahku dulu sering pulang pagi karena menonton pertunjukkan ini. Karena suka dengan kesenian wayang, ayahku pun sangat hafal dengan cerita dan bahkan karakter setiap tokohnya. Bahkan namaku pun berasal dari dunia perwayangan. Namaku Awangga diambil dari nama salah satu kerajaan di dunia wayang “Ngawangga”.
Sekarang ini, pertunjukkan wayang sudah sangat jarang dipentaskan. Wayang relatif lebih dekat dengan generasi muda yang tinggal di desa. Sejak kecil mereka cenderung akrab dengan berbagai narasi, tokoh, dan pesan sosial wayang. Berbeda dengan generasi muda yang tinggal di kota yang lebih banyak dipengaruhi budaya massa.
Munculnya media digital seperti televisi, internet, dan platform streaming telah mengubah cara orang mengonsumsi hiburan. Konten yang lebih modern, cepat, dan interaktif lebih menarik bagi generasi muda dibandingkan dengan pertunjukan wayang yang tradisional dan memerlukan waktu lama. Generasi muda cenderung lebih tertarik pada hiburan digital yang menawarkan visual dan audio yang lebih menarik serta interaktif. Akibatnya, minat terhadap wayang yang merupakan seni tradisional dengan bentuk penyajian yang lebih sederhana dan kerap dianggap "kuno" menjadi menurun.
Aksara Jawa
Sumber: indonesia.travel |
Aksara Jawa adalah rangkaian huruf dan angka yang digunakan masyarakat Jawa zaman dulu untuk berkomunikasi. Rangkaian abjad ini sekarang sulit ditemui kecuali di kitab, lontar, atau potongan naskah kuno. Jenis aksara Jawa yang masih dikenali sekarang adalah hasil perkembangan di masa kerajaan Majapahit. Aksara telah disusun ulang ketika kerajaan Islam menguasai Jawa. Sehingga, susunan hurufnya berbunyi ha, na, ca, ra, ka, dan seterusnya.
Sumber: Tribunnews |
Aksara Jawa dulu hanya dipakai oleh rakyat elit, berpendidikan dan yang memiliki ekonomi tinggi saja, sehingga “rakyat jelata” tidak relate dengan aksara ini. Kebanyakan rakyat kalangan bawah zaman dahulu buta huruf karena akses pendidikan formal untuk rakyat jelata sangat sedikit, sehingga mereka lebih banyak menggunakan bahasa lisan. Setelah Indonesia merdeka, pendidikan lebih mudah diakses, namun aksara yang dipelajari pun cenderung aksara/huruf latin karena lebih banyak dipakai dan lebih menguntungkan dibanding mempelajari aksara jawa.
Penggunaan aksara jawa kini masih dipelajari di bangku sekolah (SD-SMA) dalam muatan lokal Bahasa Jawa. Namun tetap saja minat pada aksara ini masih rendah, bahkan sudah bertahun-tahun diajarkan masih saja banyak anak muda yang kesulitan membaca aksara ini. Teknologi informasi dan komunikasi modern didominasi oleh aksara Latin. Penggunaan aksara Jawa dalam perangkat digital, seperti ponsel, komputer, dan internet, sangat terbatas. Hal ini mengakibatkan generasi muda lebih terbiasa menggunakan aksara Latin, sementara aksara Jawa semakin jarang digunakan. Contohnya di aplikasi WhatsApp, banyak bahasa tersedia seperti Arab, Kanji, India, Mandarin, dan banyak lagi, namun masih belum support aksara jawa.
Referensi:
https://warisanbudaya.kemdikbud.go.id/?newdetail&detailTetap=1185
https://www.detik.com/edu/detikpedia/d-6846628/aksara-jawa-definisi-lengkap-jenis-dan-contohnya
Belum ada Komentar untuk "Degradasi Budaya "
Posting Komentar